Dari Frustrasi ke Inovasi
Pernah nggak sih ngerasa frustrasi karena teknologi yang ada nggak bisa nge-handle kebutuhan kita? Nah, itulah yang dirasain oleh Dwight Merriman dan Eliot Horowitz, dua programmer keren yang akhirnya bikin MongoDB.
Awal Mula

Jadi, ceritanya begini. Di awal tahun 2000-an, Dwight dan Eliot lagi kerja bareng di perusahaan yang namanya DoubleClick, yang kemudian diakuisisi sama Google. Mereka punya masalah besar:
database SQL tradisional yang mereka pake nggak bisa ngikutin perkembangan data yang makin hari makin besar. Mulai dari skema yang kaku, susahnya nge-handle data nggak terstruktur, sampe masalah skalabilitas yang bikin pusing tujuh keliling.
Frustrasi yang Menginspirasi
Bayangin aja, setiap kali mereka mau nambah fitur baru atau ada perubahan data, mereka harus ngubah skema database yang ribet banget. Belum lagi, mereka harus ngelola data yang jumlahnya udah nggak ketulungan banyaknya. SQL Database yang ada nggak mampu ngikutin kecepatan dan fleksibilitas yang mereka butuhin. Dari situ, Dwight dan Eliot mulai mikir
Gimana kalau kita bikin solusi sendiri yang lebih keren?
Akhirnya, di tahun 2007, mereka berdua, bareng dengan beberapa teman, mendirikan 10gen (sekarang MongoDB Inc.) dengan tujuan buat bikin database yang lebih fleksibel dan scalable. Mereka mulai mengembangkan MongoDB (singkatan dari “humongous” yang artinya sangat besar) dengan filosofi: data itu harus bisa dikelola dengan cara yang lebih alami dan fleksibel.
Konsep NoSQL
NoSQL adalah tipe database yang tidak menggunakan tabel relasional seperti database SQL tradisional. NoSQL dirancang untuk menyimpan, mengambil, dan mengelola data yang tidak terstruktur atau semi-terstruktur dengan cara yang lebih fleksibel dan scalable. MongoDB adalah salah satu contoh dari NoSQL database.
Keunggulan MongoDB dibandingkan Database Relasional
MongoDB menggunakan model dokumen, yang artinya data disimpan dalam format JSON. Setiap dokumen bisa punya struktur berbeda. Contohnya, dalam satu koleksi, kita bisa punya dokumen seperti ini:
{
"ID": 1,
"Name": "Alice",
"Email": "alice@example.com"
}
Dan juga dokumen seperti ini:
{
"ID": 2,
"Name": "Bob",
"Phone": "123-456-7890"
}
Dengan model data yang fleksibel, kita bisa dengan mudah menyesuaikan struktur data tanpa harus mengubah skema keseluruhan. Ini sangat membantu dalam pengembangan aplikasi yang cepat dan dinamis, di mana kebutuhan data bisa berubah sewaktu-waktu.
Skalabilitas Horizontal
Database SQL:
- SQL biasanya menggunakan skalabilitas vertikal. Jika butuh performa lebih, kita harus meningkatkan kapasitas server (CPU, RAM). Ini ada batasnya, dan biaya bisa sangat mahal jika data terus tumbuh.
MongoDB:
- MongoDB mendukung sharding, yaitu membagi data ke beberapa mesin atau server. Misalkan kita punya aplikasi e-commerce dengan jutaan produk dan pengguna. MongoDB bisa membagi data produk dan pengguna ke beberapa server, sehingga tiap server hanya menangani sebagian data. Ini memungkinkan kita untuk menangani volume data yang sangat besar tanpa penurunan performa.

Mengapa dan Apa Maksudnya?
Dalam ilustrasi di atas, kita melihat bahwa dengan sharding, kita bisa menambah server baru untuk menampung sebagian data. Ini membuat kita bisa terus meningkatkan kapasitas tanpa batasan fisik satu server.
Dengan sharding, kita bisa menambah kapasitas dengan menambahkan server baru, bukan hanya meningkatkan satu server saja. Ini membuat MongoDB lebih scalable dan bisa menangani data yang terus bertambah dengan lebih efisien.
MongoDB: Cocok untuk Siapa?
Cocok untuk:
- Proyek yang Datanya Beragam: Kalau kamu kerja dengan data yang bentuknya macam-macam, seperti teks, gambar, video, atau data dari sensor, MongoDB itu pas banget. Bayangin punya laci yang bisa muat semua barang tanpa harus susun rapi, fleksibel banget!
- Startup yang Siap Meledak: Kalau kamu punya startup atau aplikasi yang cepat banget berkembang dan butuh kapasitas besar, MongoDB jagonya. Tinggal tambah server kalau datamu makin banyak, nggak perlu repot.
- Aplikasi yang Harus Ngebut: Buat aplikasi yang butuh respon cepat, seperti media sosial atau e-commerce, MongoDB bisa kasih performa tinggi. Pengguna bisa lihat update terbaru atau hasil pencarian dalam sekejap.
- Tim Dev yang Gesit: Kalau tim dev kamu suka perubahan cepat dan sering update struktur data, MongoDB bikin hidup lebih mudah. Nggak perlu ribet ubah skema database tiap kali ada perubahan.
Nggak Cocok untuk:
- Aplikasi yang Butuh Ketelitian Ekstra: Kalau kamu bikin aplikasi yang transaksi datanya kompleks dan harus selalu konsisten, misalnya aplikasi perbankan, SQL lebih cocok. SQL bisa pastikan datanya selalu benar dan akurat.
- Proyek dengan Data Super Tertata: Kalau datamu sangat terstruktur dan butuh relasi yang jelas antar tabel, SQL lebih efisien. SQL bikin hubungan antar data lebih mudah dikelola.
- Kontrol Data yang Ketat: Kalau kamu perlu skema data yang kaku dan kontrol ketat, SQL bisa jadi pilihan yang lebih baik. SQL bisa memastikan datamu selalu sesuai aturan.
Penutup
Dengan memahami kelebihan dan kekurangan MongoDB, kamu bisa menentukan apakah database ini cocok dengan kebutuhan aplikasi kamu. MongoDB menawarkan fleksibilitas dan performa tinggi yang ideal untuk banyak aplikasi modern, tapi juga memiliki batasan yang perlu dipertimbangkan tergantung pada kebutuhan spesifik kamu.
Stay tuned! Karena di artikel berikutnya, saya akan memberikan tutorial lengkap tentang cara menginstal MongoDB. Jangan sampai ketinggalan!